Skip to main content

TALQIN MAYYIT DI KUBURAN

Mungkin tulisan berikut bisa membantu sebagian kita yang belum memahami persoalan talqin dan hukumnya. Mudah-mudahan bisa jadi bahan referensi. Bagi yg sudah tahu, ya wis itung itung ngrefresh bae.

1. Imam Ath-Thobrony dalam kitab "Al-Mu'jam Al-Kabìr" (8/249,no:7979), beliau berkata: "Abu 'Uqeil Anas bin Salam Al-Khoulany telah menceritakan kepada kami, "kami mendapat cerita dari Muhammad bin Ibrohim bin Al-'Alà Al-Himshy", Kami mendapatkan dari Ismail bin 'Iyasy, dari Abdullah bin Muhammad Al-Qurosy, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Sa'id bin Abdullah Al-Audy, beliau berkata: "Aku menyaksikan Abu Umamah Al-Bahily pada detik-detik akhir kewafatannya. Beliau berkata: "Jika aku mati, maka perlakukan aku sebagaimana Rosulullah SAW perintahkan kepada kita dalam menangani orang-orang mati kita.

Rosulullah SAW memerintahkan kita dengan dawuh beliau SAW: "Apabila ada satu dari saudara kalian mati, maka timbunlan (meratakan atau sedikit menggunuk) tanah diatas kuburnya. Lalu berdirilah salah satu dari kalian persis didepan bagian kepala mayyit, lalu katakan: Ya fulan bin fulanah, Maka dia akan duduk. Terus katakan: Ya fulan bin fulanah, maka dia akan berkata: "Arsyidnà yarhamukalloh/ajarilah kami. (semoga Allah merahmatimu). Tapi kalian tidak tahu hal itu. Maka ucapkanlah: "Aku ingatkan bahwa engkau tinggalkan dunia ini dengan membawa syahadat Bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusanNya. Engkau ridho Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad Nabimu dan Alquran adalah Imammu.

Hingga pada ujung hadits ini, ada seorang sahabat bertanya: "Ya Rosulalloh, jika seseorang tersebut tidak diketahui nama ibunya, bagaimana?".
Nabi SAW dawuh: "Nisbatkan kepada ibunda Hawa, Ya fulan bin Hawa".

Dalam pentakhrijan atau penelitian sebagian muhadditsin terkait hadits diatas, Imam Al-Haitsamy dalam kitab "Majma' Az Zawà-id" 3/45, beliau mengatakan: "Dalam sanadnya ada beberapa perowi yang tidak aku kenal".

Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam "At-Talkhish Al-Habìr" 2/136, beliau mengatakan: "Hadits ini sanadnya SHOHIH".

Imam Al-badr Al-'Ainy dalam "Al-Binayah" 3/208, beliau mengatakan: "Hadits ini sanadnya SHOHIH".

Sebagian yang mendho'ifkan hadits diatas diantaranya adalah Imam Nawawi dalam "Al-Majmu'" 5/257 dan Al-Hafidz dalam "Amàly Al-Adzkàr" (Al-Futùhàt 4/196).

2. Sanad sebuah hadits yang dianggap lemah, tidak berarti meniadakan atau membatalkan status hukum muatannya, apalagi jika ada penguat hadits seperti dalam bentuk pengamalan.

Al-Hafidz Al-Faqìh Abu 'Amr bin Sholah dawuh: "Aku menyetujui dan mengamalkan talqin ini".

Imam Ibnu Al-Qoyyim dalam kitab "Ar-Rùh", hal:39, beliau mendukung talqin dan menetapkan sandarannya. Berikut adalah perkataan beliau: "Hadits ini walaupun tidak tsabit, namun hal tersebut muttashil dari masa ke masa diamalkan, diseluruh pelosok kota dan desa tanpa ada pengingkaran, ini sudah cukup bahwa talqin boleh diamalkan".

Bahkan dalam kitab yang sama (Ar-Rùh), pada halaman 38, di akhir sebuah alinea, Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya soal talqin, beliau menganggap baik talqin (fastahsanahù) dan berhujjah dengan amal.

Ibnu Taimiyyah pernah di tanya soal talqin setelah mayyit dikubur. Jawaban beliau adalah sebagai berikut sebagaimana tertulis dalam kitab "Fatawa"nya:
"Talqin merupakan amalan yang dinukil sebagian sahabat Rosulullah SAW dan mereka memerintahkan hal tersebut, seperti Abu Umamah Al Bahily RA dan lainnya.

Dalam soal talqin ini memang terdapat hadits tetapi tidak shohih dan TIDAK BANYAK sahabat yang melakukan hal tersebut.

Berangkat dari sini, Imam Ahmad bin Hanbal dan ulama lainnya mengatakan: "Talqin ini tidak apa-apa dilakukan, mereka (sebagian) sahabat memberi dispensasi namun tidak memerintahkannya". Sebagian ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah mensunahkannya......".
(lihat "Majmu' Fatawa li Ibni Taimiyyah 24/297).

Menurut catatan DR. Mahmud Sa'id Muhammad Mamduh bahwa pernyataan Ibnu Taimiyyah "TIDAK BANYAK", sebagaimana disebutkan diatas, mafhumnya adalah sebagian sahabat berarti ada yang melakukan talqin tersebut. Ini sudah cukup untuk menguatkan masyru'nya persoalan talqin. Oleh karena itu dalam pandangan fuqoha, khususnya dalam madzahibul arba'ah, talqin ini ada yang mengatakan sunnah dan ada pula yang hanya memperbolehkan saja.

Jika sebagian sahabat Rodhiyallohu 'anhum melakukan talqin, dan terdapat hadits yang mempunyai beberapa syawahid/pendukung serta tidak terdapatnya pertentangan, kemudian diamalkan secara muttashil dan bersambung oleh mayoritas kaum muslimin, maka ini sudah sangat cukup untuk dijadikan hujjah disyariatkannya talqin. Wallohu a'lam.

3. Sebagaimana kita imani dan yakini bahwa mayyit mendengar suara terompah/sandal para pembawa dan pengiring jenazahnya.
Ibnu Taimiyyah dalam "Majmu' Fatawa"nya 24/297 berkata: "Telah tsabit bahwa mayyit itu ditanya dan di uji, dan bagi para pengiring jenazah diperintahkan untuk mendoakannya".

Dengan demikian, talqin bisa memberi manfaat bagi mayyit, karena dia mendengarnya. Sebagaimana dalam hadits shohih, Rosulullah SAW dawuh:
"Sesungguhnya mayyit mendengar suara terompah mereka (para pengantarnya)".

4. Dari Abi Sa'id dan Abu Hurairoh Rodhiyallohu 'anhumà, mereka berdua berkata: Rosulullah SAW dawuh:

ﻟﻘﻨﻮﺍ ﻣﻮﺗﺎﻛﻢ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ

"Talqinlah (ajarilah) orang-orang matimu Laa ilaaha illallòh".
(HR. Muslim 916/917,Ahmad 3/3,Abu Dawud 3117 dan At-Tirmidzi 976).

Dzohir hadits diatas memakai kata "mautâkum" yang berarti adalah orang-orang mati kalian. Ini berarti memakai makna hakiki.

Ada sebagian pendapat yang memaknai dengan majaz, yang berarti orang-orang yang mendekati mati/sakarotul maut. Bagaimanapun tetap saja dua-duanya jelas menunjukkan diperbolehkannya talqin.

5. Dari Dhomroh bin Hubaib RA (salah seorang Tabi'in) berkata: "MEREKA (para sahabat) mensunahkan meratakan tanah diatas kuburan mayyit, dan ketika mereka mau meninggalkan mayyit, diucapkanlah disamping kuburnya: "ya fulan, katakan ! Laa ilaaha illallòh,3x. Ya fulan, katakan ! Allah adalah Tuhanku, Islam agamaku dan Muhammad Nabiku".

Atsar dari Tabi'in ini diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshur, seperti terdapat dalam kitab "At-Talkhis al-Habir" 2/136 karya Ibnu Hajar RA.
InSyaAllah bersambung dengan pandangan para Imam dalam empat madzhab soal talqin pada tulisan berikutnya.

PENDAPAT MADZÀHIB AL-AIMMAH DALAM PERSOALAN TALQIN.


Berikut adalah pandangan para imam dalam empat madzhab.

1. Para ulama besar madzhab Hanafi berpendapat bahwa talqin mayyit di kuburan adalah boleh, bahkan sebagian dari mereka mensunahkannya.
(lihat kitab2 mereka seperti "Al-Binayah 'ala Al-Hidayah" 3/208, 209), "Rodd Al-Mukhtar" 1/571, "I'là-u As-Sunan" 8/210, 211).

2. Kibàr Ulama madzhab Maliki kontemporer (mutaakhkhirin) memperbolehkannya. Imam Abu Sa'id bin Lubb berkata "diperbolehkannya talqin dikuburan karena berhujjah hadits Abu Umamah Al-Bahily RA riwayat At-Thobroni yang sudah dikemukakan sebelumnya". (Lihat "Al-Mi'yàr" 1/412).

3. Menurut kalangan Syafi'iyyah, talqin hukumnya sunnah. Dalam kitab "Majmu Syarh Al-Muhadzdzab", Imam Nawawi RA mengatakan: Sebagian sahabat-sahabat kami (Syafi'iyyah) mengatakan disunahkan mentalqin mayyit setelah proses penguburan selesai. Salah seorang duduk disisi kepala mayyit, lalu berkata: ya fulan bin fulan wa yà abdallah bin amatillah.... dan seterusnya hingga akhir hadits.(Lihat "Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzdzab" 5/273,274).

Menurut ulama Syafi'iyyah talqin ini hukumnya sunnah. Sebagian dari mereka yang mensunahkan talqin adalah Al-Qodhi Husen, Imam Mutawalli, Syekh Nashr Al-Maqdisy, Imam Ar-Rofi'i dll.

Imam Nawawi RA menilai hadits dari Abu Umamah riwayat At-Thobroni dalam "Mu'jam"nya adalah dhoif sanadnya, namun beliau mengatakan walaupun hadits ini sanadnya dhoif tetap bisa diamalkan. Para Ulama muhadditsin sepakat diperbolehkannya mengamalkan hadits walaupun dho'if dalam fadho-il al- a'mal dan at-targhib wa at-tarhib.

4. Sedangkan dari para ulama besar madzhab hanbali, yang mu'tamad atau yang paling kuat (dijadikan) pegangan dalam madzhab mereka adalah bahwa mereka mensunahkan talqin. Dalam kitab mereka "Al-Furu'", karya Ibnu Muflih RA, beliau berkata: "Adapun mentalqin mayyit setelah dikubur, kebanyakan dari mereka (hanabilah) adalah mensunahkannya".
(lihat "Al-Furu'",2/2755). Pernyataan yang sama juga terdapat dalam kitab "Kasyàf Al-Qonà' 'an Matni Al-iqnà",2/135).

Sementara Ibnu Taimiyyah dari kalangan mutaakhkhirin hanabilah mengatakan talqin mayyit dikuburan itu boleh tapi bukan sunnah.
Dalam "Fatawa"nya Ibnu Taimiyyah, ketika ditanya apakah talqin mayyit orang dewasa dan anak kecil itu masyru' atau disyariatkan?
Beliau menjawab sebagai berikut:
"Sebagian sahabat Rodhiyallohu 'anhum memang melaksanakan hal itu (talqin di kuburan), seperti Abu Umamah al-bahily, Watsilah bin Al-Asqo' dll, juga sebagian dari sahabat (madzhab hanbali) mensunahkannya. Namun yang benar adalah bahwa talqin mayyit dikuburan itu boleh, namun bukan sunnah.

KESIMPULAN:

Dari 3 bagian catatan diatas, kesimpulannya bahwa hukum talqin diantara para ulama besar islam hanya berkisar antara boleh dan sunnah.
Mereka adalah para ulama yang masyhur keilmuan dan kesholihannya. Hukum agama bukan perkara main-main. Ia harus dikembalikan kepada Ahlinya (ahlul ilmi). Mereka yang paling berhak bicara hukum agama dibanding lainnya.

Ibnu taimiyyah sendiri ( yang notabene sering dianggap kontroversial pendapatnya oleh para ulama), toh dalam hal ini tidak melarang, apalagi menyesatkannya.

Lalu bagaimana kemudian belakangan ada yang berani membid'ahkannya.
Coba kita renungkan, Para sahabat saja, seperti Abu Umamah dan Watsilah Al-Asqo' dan lainnya Rodhoyallohu 'anhum minta agar setelah mereka dikubur ditalqinkan. Bandingkan dengan kita!

Mereka itu sahabat-sahabat Rosulullah SAW, generasi yang Nabi SAW sendiri anggap sebagai generasi terbaik. Lah kita ini yang setiap saat berlumuran dosa, iman kita sering labil, jarang dzikrulloh, Malah kok gak mau di talqin, apalagi kemudian melarang talqin.

Semoga Allah menguatkan iman dan membuka hati kita.

Semoga bermanfaat.

Mochammad Fuady abdullah