Skip to main content

Para Ulama Yang Terlambat Belajar

"Tidak ada kata terlambat dalam belajar". Ya, ucapan tersebut adalah benar adanya. Tinggal orangnya saja, mau atau tidak. 

Apakah orang yang belajar akan diberi ilmu oleh Allah?

Nah, untuk yang ini tidak kesemuanya. Tapi, kita memang diperintahkan belajar. Itu saja. Karena Ilmu itu adalah hak prerogatif Allah. Terserah Allah mau memberikannya pada siapa.

Yang belajar sejak kecil dan menghabiskan waktu puluhan tahun, belum tentu dia alim lantas dipanggil ulama. Dan tidak menutup kemungkinan bahwa yang belajar tidak lama malah ilmunya banyak bahkan alim walaupun dirinya terlambat dalam menuntut ilmu. Ringkasnya omongan adalah dirinya belajar ilmu agama memang sudah masa tua atau mendekati masa tua.

Kealiman seseorang itu murni dari Allah. Kita cuma diperintahkan menanam (belajar), berbuah atau tidak, hak prerogatif Allah yang menentukan. 


Di antara Ulama yang Terlambat Belajar


1. Imam Ali al-Kisa'i

Beliau adalah Imam Qiraat, Ulama Nahwu, pakar bahasa kenamaan. Beliau termasuk ulama yang lambat belajar. Al-Hafidz al-Zahabi tidak menyebutkan berapa umur imam Ali al-Kisa'i  ketika mulai belajar. 

Imam Al-Hafidz al-Zahabi menyebutkan bahwa imam al-Kisa'i dengan ungkapan 

تعلم عن كبر

Intinya sudah bukan waktu belia atau waktu masa-masa belajar Imam al-Kisa'i menuntut ilmu.  

Meski demikian, Allah menjadikan imam Ali al-Kisa'i menjadi seorang yang alim. Ketika imam Ali al-Kisa'i meninggal, kebetulan imam Muhammad bin Hasan al-Syaibani juga meninggal, Raja Harun ar-rasyid berkata:

دفنت الآن الفقه والنحو 

"Ilmu fikih dan nahwu telah dikebumikan hari ini"

Dari ungkapan ini bisa dipahami bahwa ilmu itu fii as-shuduur (di hati) bukan di buku atau di kitab. 

Orang yang ilmunya sudah nyegoro (tabahhur) berarti ilmunya sudah malakah. Ilmu yang malakah tidak ditemukan di kitab, melainkan ada pada seorang ulama.

Kalau ilmu sekedar di kitab, bukan di hati, maka pemilik maktabah adalah orang yang paling alim. 


2. Muhammad Abu Bakar al-Razi

Muhammad Abu Bakar al-Razi (w. 311 H) pada masa mudanya berprofesi penyanyi dan penabuh gendang. Ketika umurnya sudah beranjak tua, beliau membenci pekerjaan itu dan menganggapnya tidak pas dengan dirinya. 

Setelah itu, beliau baru memutuskan belajar ilmu kedokteran dan filsafat secara totalitas setelah umurnya lebih dari 40 tahun.

Di sisa umurnya, Muhammad Abu Bakar al-Razi memfokuskan diri hanya untuk ilmu hingga beliau wafat., Karya monumental beliau adalah kitab al-Hawi, yaitu sebuah ensiklopedis kedokteran sebanyak 30 Jilid. Karya beliau yang lain mencapai 250 kitab. Begitulah penjelasan Ibnu Khalikan  

Syahidul Mimbar, syaikh Buthi mengatakan:

العلم منحة إلهية

"Ilmu adalah anugra (karunia) ilahiyah"


3. Imam Ibnu Hazm

Al-Zahabi menuturkan bahwa Imam Ibnu Hazm belajar ketika umur beliau 26 tahun, sudah bisa dikatakan terlabat belajar. Beliau terlalu masyhur dijelaskan. Karyanya terlalu agung dipaparkan. 


4. Imam Qaffal al-Marwazi

Imam Qaffal al-Marwazi juga termasuk ulama yang terlambat belajar. Beliau baru belajar ketika berumur 40 tahun. Tapi, di kemudian hari, beliau menjadi raksasa ulama Syafi'iyah. 


5. Syaikh Khalid al-Azhari 

Syaikh Khalid al-Azhari baru mulai belajar ketika umur 36 tahun, sudah termasuk kategori Terlambat Belajar. Beliau memfokuskan diri untuk belajar setelah beliau dibully oleh seseorang. 

Pada usia tersebut, beliau memantapkan dirinya untuk belajar. Di kemudian hari, beliau menjadi ulama lughah yang aqliyahnya luar biasa. 

Sekali lagi, ini menunjukkan bahwa kealiman seseorang murni hak veto Allah. 

Imam Ibnu Malik membuat sebuah ungkapan:

إذا كانت العلومُ مِنَحاً إلهية، ومواهبَ اختصاصيةً فغيرُ مستبعَدٍ أن يُدَّخَر لبعض المتأخِّرين ما عسُرَ على كثيرٍ من المتقدِّمين 

"Jika memang ilmu itu Anugrah tuhan dan pemberian yang spesial, tidak menutup kemungkinan orang-orang mutakhir menemukan (memecahkan) suatu masalah yang sulit dipecahkan oleh mutakaddimin". 

Imam Murtadha al-Zabidi al-Azhary memberi catatan atas perkataan ini


 والمعنى أن تَقدُّم الزمان وتأخُّرَه ليست له فضيلةٌ في نفسه؛ لأن الأزمانَ كلَّها متساويةٌ، وإنما المعتَبر الرجالُ الموجودون في تلك الأزمان، فالمصيبُ في رأيه ونقلِه ونقدِه لا يضرُّه تأخُّرُ زمانِه الذي أظهره اللهُ فيه، والمخطئ الفاسدُ الرأيِ الفاسدُ الفهمِ لا ينفعه تقدُّم زمانِه، 


Pada hakikatnya tidak ada keutamaan pada zaman lampau dan zaman sekarang, karena mereka sama. Yang diperhitungkan adalah orang-orang yang hidup di zaman itu. Orang yang benar dalam pendapatnya, kutipan dan kritikannya, tidak dapat dipengaruhi hanya gara-gara dia di zaman mutaakhir. Dan orang yang salah pemahaman dan pendapatnya, lampaunya sebuah zaman tidak memberi efek kepadanya. 

Saya memahami mutakaddim dan mutaakhir, bukan sekedar orang-orang zaman lampau dan zaman mutaakhir. Saya memahaminya dengan hal lain: keterlambatan dan ketidak terlambatan. 

Ilmu adalah anugrah dan karunia Allah, siapapun bisa diberi Anugrah ini meski dia lambat belajar.

Banyak ulama yang lambat dalam belajar. Tapi mereka mengalahkan orang-orang yang sejak kecil telah belajar. 

No comments: